BAHASA DAN INDONESIANYA

Oleh : Wiwi Purwasih A. Dodengo


Rasanya sukar dan sedikit berbelit jika tulisan ini harus dibumbui dengan diksi-argumentatif yang diprediksi bersifat historis, apalagi tentang sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Tema ini memang tidak pernah habis dibicarakan. Kita bisa baca sumber-sumber dari sejumlah buku yang isinya “macam-macam”.  Dimulai dari berdirinya kerajaan-kerajaan yang dipengaruhi oleh kultur Melayu sampai pada berdirinya Balai Pustaka yang dinilai punya keterpengaruhan kultur Hindia Belanda. Apalagi ditambah dengan proses belajar yang hanya bisa dinikmati selama 3 jam yang diembel-embeli dengan komika. Sebut saja mata kuliah dasar di semester awal; “Sejarah Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia”. Maka lengkaplah penderitaan belajar kita karena tidak sampai taraf memahami. Mari kita sampingkan bagaimana proses belajar itu berlangsung di dalam kelas berukuran 4x4 meter. Sekali lagi, bukan karena proses belajar di dalam kelas kurang mumpuni, tetapi karena banyak hal menarik tidak penting yang nantinya menjadi katastrof  pada tulisan ini, atau semacam verbalisme kering. Barangkali lebih apik kalau kita bicara satu persatu secara ringkas mengenai dua persoalan itu, yakni Sejarah dan Bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia adalah bahasa, yang sama dengan bahasa-bahasa yang lain. Tidak ada hirearki vertikal yang menempatkan suatu bahasa tertentu pada sisi superior dan yang lainnya sebagai inferior. Terlepas dari ia sebagai alat komunikasi manusia (bukan hand phone, atau sejenisnya). Ia adalah sesuatu yang diujarkan (sebuah parole) yang memiliki sisi kognitif, emotif, ia juga punya sisi yang inkoheren dengan realitas (misalnya ketika kita memparolekan sesuatu hal untuk menunjukkan sesuatu yang lain). Seperti menyatakan hal yang sebaliknya dari suatu ungkapan tertentu. Tapi intinya disini saya ingin menyampaikan sebuah kesepahaman bahwa bahasa adalah apa yang terbicarakan, meskipun yang terbicarakan adalah hal yang tidak selalu diparolekan tetapi mengandung sebuah informasi dan pesan yang minimal ia terpahami melalui proses signifikansi kalau kita alergi menyebutnya melalui bahasa. Rempong dot kom.

Perkembangan  bahasa Indonesia dapat dipelajari melalui dua bentuk studi, yakni sinkronik dan diakronik. Dua hal yang tidak perlu dibicarakan pada tulisan ini karena paragraf ini diprioritaskan kepada pembaca yang memang sudah lama berkawan intim dengan linguistik beserta suku cadangnya. Dan baragkali luas guratan ini perlu kita simpan sebagai pertanyaan yang harus dibawa pulang, yang mungkin saja akan “mengantarkan kita kepada pintu gerbang kemerdekaan LOGIS”, serta dalam rangka menghemat kertas dan tinta printer tentunya.

Biasanya para penulis dinilai kurang konsisten karena mereka mengalihkan pembicaraan, atau karena soal kepantasan, bahwa mereka tidak perlu membicarakan apa yang harus “diungkapkan” sebab bahasa memiliki keterbatasan untuk mengotak-atik serta menerjemahkan pengalaman dan pemahaman manusia yang tidak terbatas. Sebuah dalih. Kesimpulannya, bahwa inkonsistensi bisa kita temukan dimana-mana; di kamar mandi, di dalam kamar. Banyak yang bisa kita temukan di dalam media cetak, media eletronik, karya sastra. Tentunya pengertian inkonsistensi disini mencakup juga “sesuatu hal yang dikurangi (sensor)” yang  tidak berbeda dengan sesuatu yang ditambah-tambahkan. Misalnya, penulis yang menjunjung tinggi religiusitas enggan memprovokasi pembaca dengan kata-kata erotis dan mengandung unsur “ketelanjangan”, akhirnya disensor. Sebaliknya bagi penulis yang beraliran eksistensialisme paling hobi menyumbang aksen birahi, meskipun itu tidak ditemukan pada semua penulis beraliran eksistensialisme. Kata-kata perlu disensor atau tidak harus disensor bertujuan untuk mencapai tingkat transisi naratif. Barangkali dalam hal tersebut, sebagai penulis yang tidak punya aliran apa-apa, tulisan ini dibuat propagandis untuk mencapai efek optimisme (alih-alih melebihi transisi naratif).

Kembali ke pokok persoalan. Berbicara perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sastrawan saling memberikan “jab” dan “swing” untuk memenangkan pertarungan prestise dan akademis. Sudut pandang mereka masih kontra versi. Sebagian berpendapat bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu karena banyak kemiripan, sedangkan yang lain berkesimpulan bahwa jejak perkembangan bahasa Indonesia sulit dilacak karena banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa asing; Arab, Belanda, Inggris, Cina yang perkembangan serapannya tumpang tindih dan saling mendahului. Sementara disatu sisi, persatuan menurut KBBI bermakna gabungan beberapa bagian yang sudah bersatu. Akan sukar bagi kita membangun hubungan logis antara bahasa sebagai “serapan” dan makna “persatuan” disisi lain. Barangkali bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bermakna gabungan serapan bahasa asing kemudian bersatu padu kedalam suatu bahasa tertentu yang diikat melalui keajegan (sistem) di dalam bahasa tersebut. Kita menyebutnya sebagai bahasa Indonesia bukan sebagai bahasa Nusantara lantaran Nusantara kita telah beralih status sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hahahaha...

Selain itu, artikulasi tentang identitas dan sejarah diatas (baca: bahasa Indonesia sebagai bahasa perstuan) tidak terlepas dari peristiwa Sumpah Pemuda. Sebelum dan sesudah terjadinya peristiwa politis “ Sumpah Pemuda”, Indonesia pada masa itu masih diliputi oleh hal yang bersifat kultural. Kita bisa menyaksikan gerakan-gerakan serta keputusan-keputusan politis masih segar dengan nuansa kesukuan. Seiring dengan diadopsinya demokrasi liberal yang entah berlatar Prancis-isme atau Amerika-isme, Anglo-Saxon atau Eropa Kontinental, subtansinya selama demokrasi itu berdiri diatas liberty, fraternite dan egalite, selama demokrasi menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan HAM maka ia tidak dapat ditolerir dengan hal yang lain. Acapkali kita memandang sinis pancasila dan UUD 1945 lantaran demokrasi sudah cukup mewakili tata cara bernegara kita semata-mata untuk tujuan good Governance. Kenapa jadi kesosor?
Kembali ke pembahasan kita. Bicara perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia, sejarah kesusastraan Indonesia disatu sisi meraih “bintang emas” (baca: Kejayaan) disisi lain menuai kesenjangan.

Beragam  reaksi dituangkan dalam suatu karya untuk mengkspresikan pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya pada masa itu. Bukan hal yang sukar lagi jika kita temukan berbagai karya anak bangsa yang gagal dalam menentukan identitas dirinya akibat dari percampuran tradisi antar suku maupun diluar dari itu. Artinya pada masa itu telah ada semacam rasa memiliki terhadap bahasa yang baru dalam satu suku. Pembinaan dan pemertahanan tradisi masing-masing perlahan terkikis oleh pergantian masa seiring dengan berkembangnya pemikiran terhadap pengetahuan mengenai pencarian jati diri bangsa. Sumpah yang dirumuskan sebagai tanda kelahiran bangsa indonesia tidak bisa ditelan mentah-mentah, sebab pengakuan terhadap persatuan membutuhkan pembuktian.

Pukulan dahsyat yang bergentayangan pada masa itu hanya bisa mengantarkan bangsa indonesia ke depan pintu gerbang. Karena perjuangan untuk mempertahankan niai-nilai dalam suatu karya adalah penentu masa depan, seringkali dibungkam sekaligus diperalat oleh kekuasaan. Namun, persoalan tersebut bukanlah akhir dari perjuangan bangsa indonesia. Mereka yang masih konsisten dalam berkarya berhasil menemukan jati diri mereka. Sementara meraka yang ikut terlibat dalam kekuasaan, dengan ringan hati memanipulasi karya mereka sendiri untuk memposisikan diri. 

Bahasa indonesia dijadikan persyaratan dalam suatu karya sastra tentu menimbulkan kecurigaan terhadap penulis. Mungkinkah satu bahasa daerah bisa bersatu dengan bahasa lainnya? Ketidakpedulian terhadap berbedaan ini acap kali dibuat bingung. Ketika yang satu dipersatukan, maka akan melahirkan kebudayaan baru oleh sebuah bangsa baru. Upaya untuk mempertahankan “Sumpah” tersebut seolah-olah menjadi catatan penting bagi bangsa indonesia. Mungkinkah bahasa indonesia kini diubah menjadi bahasa kepentingan? Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini